Selasa, 31 Desember 2013

Kisah Sukses Pengusaha UMKM di Batam

Kisah Sukses Pengusaha UMKM di Batam

Safira Kebanjiran Order dari KBRI Singapura


MENJALANKAN usaha konveksi, tidak selamanya harus mahir menjahit. Asalkan bisa menguasai managemen keuangan dan pemasaran, usaha bisa dirintis hingga sukses dengan mempekerjakan orang lain.
Begitulah yang dilakoni Didik Endrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjalankan CV Safira Qualita Pratama. Usaha bidang konveksi sukses dikembangkan Safira, sapaan akrab Didik Endrawati dalam waktu delapan tahun.
Terlebih setelah wanita berkerudung itu mendapatkan bantuan modal dari beberapa pihak, diantaranya PT Telkom melalui kredit lunaknya dan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Usaha yang awal perintisannya hanya bermodalkan satu unit mesin jahit dengan satu orang pekerja, kini sudah berkembang menjadi puluhan mesin jahit dengan pekerja 15 orang.
Bahkan, Safira tidak hanya kebanjiran order dari lokal Batam dan Provinsi Kepri, tapi juga sudah banyak menerima pesanan dari KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) yang ada di Singapura.
Saat ditemui Tribun beberapa waktu lalu, Safira menceritakan, pesanan dari KBRI tidak sebatas untuk seragam para pegawai disana, tetapi juga untuk seragam sekolah putra-putri mereka yang bersekolah di Singapura.
Sementara lokal Kepri, ada 25 sekolah yang sudah mempercayakan pembuatan seragamnya kepada Safira diantaranya SD Nabila, Hidayatullah, salah satu sekolah yang berlokasi di Duta Mas, dan lainnya.
“Dulu saya buka jahitan, hanya iseng-iseng aja. Saya juga gak bisa menjahit. Karena ada satu orang teman yang bisa jahit, maka saya belikan dia mesin jahit dan buka jahitan di rumah Batuaji,”cerita wanita asal Jawa itu yang memulai bisnisnya pada 2000 lalu.
Satu mesin jahit itu pun, awalnya hanya digunakan untuk mempermak celana panjang dan baju. Namun, lama kelamaan pesanan pelanggan semakin beragam. Safira pun mulai mencari bantuan ke beberapa pihak untuk menambah mesin jahitnya.
Pada 2003 lalu, ia pun menerima bantuan lunak bergulir dari program community development PT Telkom. “Saya dua kali mendapat bantuan dari PT Telkom dan sudah saya lunasi pada 2004 lalu. Saya tidak bisa lagi mendapat bantuan program yang sama karena memang terbatas. Kalau sudah dua kali dapat, tidak bia dapat lagi,”ujarnya.
Karena itu, ia pun mulai melirik sumber pendanaan lain untuk terus bisa mengembangkan usahanya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saat Safira tengah mencari dana pinjaman, seorang pegawai Bank Bukopin bertandang ke rumahnya menawari program kredit usaha rakyat (KUR).
Setelah melalui proses administrasi dan pengkajian oleh Bukopin Cabang Batam, beberapa bulan lalu kredit sebesar Rp 200 juta pun telah dikucurkan.
“Untuk mendapatkan KUR, saya tidak mengalami kesulitan. Bahkan yang proaktif justru pihak bank-nya. Saya hanya menjaminkan deposito,”tutur istri seorang dosen Unrika itu.
Karena usahanya yang sudah berkembang, saat ini Safira tidak khawatir lagi untuk menerima pesanan dalam jumlah besar, baik untuk baju seragam sekolah, partai, pemerintah, atau busana masal lainnya.
Mantan karyawati PT TEC itupun, kini sudah memiliki dua tempat usaha konveksi yakni di Perumahan Taman Batuaji Indah dan Perumnas Batuaji tepatnya di depan TK Al Azhar. “Siapapun yang hendak menggunakan jasa kami ujar Safira di akhir obrolan.

Pencerahan anak seorang penjahit

Seorang Penjahit


Sembilan belas tahun lalu, waktu SMA, saya pernah di panggil wali kelas karena menunggak SPP 3 bulan, padahal keluarga saya termasuk keluarga yang mampu.

Ayah saya ketua sebuah partai (PPP waktu itu th 1990 an) dan kita punya usaha garmen keluarga yang cukup menghidupi sembilan anak (empat kakak saya dan empat adik saya).

Saya telat bayar SPP karena memang bandel saja. Saya tidak pernah ngomong minta uang SPP ke orang tua, merekapun karena kesibukan tidak memperhatikan SPP bulanan saya (kalau punya 9 anak dan sekolah semua, mana sempet perhatikan SPP tiap bulan).

Nah ketika itulah saya ditanyai oleh Wali kelas kenapa telat bayar SPP ? Apa karena orang tua tidak mampu ? Apa perlu diajukan dispensasi dan keringanan?

Beliau bertanya lebih lanjut, apa pekerjaan orang tua kamu ?

Saya bingung harus menjawab apa, kalau saya jawab tidak mampu berarti berbohong, kalau saya jawab orang tua saya mampu, nanti dikejar pertanyaan kenapa menunggak 3 bulan ?

Akhirnya saya jawab orang tua saya pekerjaannya penjahit..!.

Ya..saya tidak berbohong, karena kami memang punya usaha garmen dan ayah saya walaupun ketua sebuah partai masih suka motong kain sendiri sebagai bahan jaket dan celana jean produksi kami waktu itu.

Mendengar jawaban saya, ibu wali kelas tidak mengejar lebih lanjut ! saya yakin yang ada di benak beliau adalah memaklumi, karena profesi penjahit pasti orang yang pas pas an saja.

Beliau tidak menyadari bahwa semua orang bisa sukses dan berkecukupan dengan menjadi penjahit. Apalagi kalau yang dijahit hal hal besar..!

Halo ..Ibu Anis, bagaimana kabar Ibu, Apa masih ngajar di SMAN 1 ? semoga ibu selalu sehat dan keluarga juga dilimpahi keberkahan.

Sekarang saya pun sedang dalam posisi bingung menentukan sebenarnya apa sih profesi atau pekerjaan saya ?

Saya adalah Akuntan lulusan UI, tapi dari awal karir pekerjaan saya, tidak pernah sekalipun menjadi akuntan yang menyusun pembukuan. Saya selalu menjadi cost analyst atau auditor di berbagai perusahaan tempat saya bekerja.

Dan setelah menjalani karir sepuluh tahun lebih di area ini, saya baru menyadari bahwa saya tidak terlalu menyukai profesi tersebut.

Ini pula yang menjelaskan kenapa sepanjang karir, saya sudah sembilan kali pindah perusahaan, besar besar pula (KPMG, Freeport, ExxonMobil, IBRA dan lain lain), bahkan saya pernah menjadi tukang koran dan kerja di perusahaan laundry sebagai tenaga packing waktu di Melbourne, Australia.

Saya juga hobi membuat perusahaan, dari berbagai bidang usaha; konveksi, retail garmen, retail elektronik, beternak lele, kontraktor bangunan, consultant SDM dan waralaba CD pendidikan. Satu sama lain tidak berhubungan dan semua menjadi ongkos belajar.

Istri saya pun sering mengkritik saya. Mas ini maunya jadi apa ? kerja pindah pindah, bikin usaha di banyak bidang, semuanya tidak optimal dan tidak fokus, mana bisa berhasil ? begitu katanya.

Kalau sudah begitu, saya mulai agak panas dan mengemukakan seribu satu alasan pembenaran. Walau dalam hati saya mengakui kebenaran kritik istri saya, namun saya juga tahu ada yang salah dengan pendapat itu. Hanya saya belum tahu dimana salahnya ?

Sekarangpun di perusahaan yang saat ini saya bekerja, pekerjaan saya sama sekali tidak berhubungan dengan akuntansi, melainkan ber interaksi dengan petani singkong.

Bagaimana membina kemitraan dengan mereka dan bagaimana memenuhi kebutuhan singkong pabrik, berinteraksi dengan aparat desa, kepolision, koramil dan tokoh adat setempat untuk bersama menciptakan suasana kondusif bagi sebuah kemitraan produktif dan saling menguntungkan.

Padahal saya sama sekali tidak mengerti pertanian, apalagi bertanam singkong skala besar.

Aha ! Di sini saya menemukan diri saya, sebenarnya inilah pekerjaan yang saya sukai, berinteraksi dengan orang orang, berbicara dengan orang dari berbagai strata social, mengidentifikasi kepentingan (needs) mereka dan fokus memberi nilai tambah dari sebuah hubungan !

Dan ternyata pekerjaan saya tersebut adalah profesi seorang penjahit ! ya, Saya Seorang Penjahit….!

Seperti juga profesi ayah saya dulu, yang membedakan adalah media nya. Ayah saya menjahit kain untuk dijadikan baju dan menciptakan nilai tambah. Saya menjahit orang orang, kepentingan kepentingan, menciptakan nilai tambah dan memberi keuntungan semua pihak.

Sekarang saya sudah bisa bilang ke istri, saya adalah orang yang fokus dan hasilnya pasti optimal, saya fokus menjahit ! Menjahit apa saja yang bisa dijahit ! asal memberi nilai tambah dan menguntungkan semua pihak.

Pengalaman ber pindah pindah kerja sembilan kali, pengalaman bikin usaha delapan kali yang selalu tidak optimal, hanyalah sarana dari Tuhan untuk proses pembelajaran menjadi seorang penjahit handal.

Berdasarkan pengalaman hidup saya, untuk menjadi seorang penjahit yang sukses setidaknya ada beberapa poin yang harus kita kuasai :

1. Kemampuan mengidentifikasi kebutuhan (needs) orang atau kelompok
2. Kemampuan menciptakan nilai tambah (value added) sebuah hubungan
3. Kemampuan dan kesabaran memberi keuntungan terlebih dahulu ke mitra kita. Kasih orang lain Win terlebih dahulu, kitapun akan Win

Coba Anda bayangkan, kesuksesan seperti apa yang bisa anda peroleh kalau anda bisa menjahit kepentingan ribuan petani (orang orang kecil), kepentingan lembaga pembiayaan, kepentingan pabrikan dan kepentingan komunitas pendukung lainnya, menciptakan nilai tambah dan memberi keuntungan semua pihak.

Tentu anda akan menjadi orang yang sukses.

Anda bayangkan lagi, kalau bisa menjahit kepentingan orang orang besar, perusahaan perusahaan besar, lembaga lembaga keuangan besar, organisasi sosial, pemerintahan, partai partai. Memberinya nilai tambah. Memberi keuntungan semua pihak.

Saya yakin Anda akan menjadi orang yang lebih sukses lagi !

Dan kalau Anda bisa menjahit kepentingan semua komponen bangsa ini. Memberinya nilai tambah dan menciptakan kemakmuran bagi semuanya. Anda akan menjadi Negarawan dan Pemimpin yang sangat hebat..! Menjadi seorang penjahit yang hebat !

Salam Sukses..! Semoga bermanfaat

SUKSESNYA SEORANG PENJAHIT

SUKSESNYA SEORANG PENJAHIT

Peternak Itik yang Gagal Menjadi Penjahit yang Sukses Oleh : MUHAMMAD JAYA dan BAJANG “Kesuksesan dan keberhasilan tidak ditentukan orang lain. Hanya dengan kerja keras cita-cita seseorang akan tercapai. Tidak ada yang bisa mengubah kehidupan seseorang,kecuali dia sendiri yang mengubahnya” Tamiang LayangKEHIDUPAN pria berumur 40 tahun ini penuh dengan cerita untuk meraih kehidupan yang sukses seperti sekarang ini. Pahit-manis kehidupan, gagal bangkit lagi, begitulah seterusnya perjuangan hidup seorang Abadi.Sejak dilahirkan di Kelua, Kabupaten Tabalong, Kalsel, Abadi besar di kampung halamannya ini. Tidaklah sebaik nasib kehidupan teman sebayanya yang lebih sukses duluan. Maklum, Abadi tak memiliki bekal pendidikan yang cukup. Ia hanya bersekolah hingga tingkat sekolah dasar. Padahal, faktor pendidikan sangatlah penting dalam mengubah kehidupan menjadi lebih baik.Tak akan mampu bertahan hidup jika tak memiliki pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan. Abadi remaja pun berpikir keras pekerjaan yang cocok bagi dirinya dan sesuai dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan. Begitu lama terpikir, inspirasi pun mengalir jika pekerjaan yang pas untuk mendapatkan uang adalah beternak itik.Hari demi hari, bulan demi bulan, hingga usaha memelihara hewan unggas itu dilakoni Abadi hingga empat tahun lamanya. Usaha dengan titik keringat dan tanpa mengenal waktu itu tidak sesuai yang diharapkannya. Penghasilannya dari menjual itik dan telurnya tidak sebanding dengan modal dan tenaga.Pada titik jenuh dan frustasi, apalagi kala itu Abadi sudah memiliki tanggungjawab untuk menghidupi istri dan dua anaknya, Abadi pun mulai gelisah dengan usahanya yang jalan di tempat, bahkan mulai merugi.Tidak ada kata lain, tahun 2009 ia nekat merantau meninggalkan kampung halaman tempatnya dilahirkan dan dibesarkan. Dan berharap, di perantauan nasib dan kehidupannya akan membaik daripada di kampung halamannya. Modal ke perantau tidaklah banyak. Dipilihlah Kota Tamiang Layang, ibukota Kabupaten Barito Timur, yang jarak dari kampung halamannya sekitar 25 kilometer. Bahkan Abadi merelakan harus berpisah sementara dengan istri dan anaknya karena keterbatasan biaya membawa ke perantauan. Sebagai kabupaten baru pemekaran dari Kabupaten Barito Selatan, di ibukota Kabupaten Barito Timur itu Abadi mulai merintis usaha di bidang jasa penjahitan pakaian. Bermodalkan mesin jahit butut yang dibelinya dari orang lain serta menyewa tempat yang ukurannya kecil, perlahan Abadi mulai didatangi pengguna jasanya. Ada yang minta dibuatkan baju dan celana, tapi ada pula yang hanya untuk menambal bagian kain yang robek.Kerja keras di perantauan Kota Manuwu, mesin jahit butut manual terus kebanjiran order. Kehidupan Abadi pun mulai membaik. Bahkan setiap ada untung, hasilnya dikirim untuk istri dan anaknya di Kelua yang juga membantu perekonomian keluarga dengan mengelola sawah. Demikian pula ditabung untuk membeli mesin jahit yang lebih moncer.Tidak itu saja, Abadi juga bisa menyisihkan hasil kerja keras itu untuk mendukung kelancarannya sebagai penjahit. Satu unit sepeda motor dibelinya, meski dengan cara kredit dicicil. Tak terasa, cicilan itu berakhir sehingga motor itu statusnya sudah milik Abadi.Kewalahan dengan order jahitan, tentu saja tidak bisa ditangani oleh Abadi sendiri. Ia pun berniat mempekerjakan adik kandungnya yang berada di Kelua. Di Kelua pun Abadi membuka cabang yang dikelola oleh adik kandungnya. Terkadang, order pengguna jasa di Tamiang Layang dikirim ke cabang di Kelua, sehingga pelanggannya tidak merasa lama menunggu memakai pakaian jadi hasil jahitannya.Dari usaha yang dirintis dengan susah payah itu, dalam satu hari Abadi mendapatkan rata-rata penghasilan Rp300.000. Jika dihitung dalam satu bulan atau 30 hari, maka pendapatannya mencapai Rp9 juta, penghasilan yang jauh lebih besar dari seorang pejabat setingkat di pemerintahan.Kebanyakan pelanggan yang datang menggunakan jasa Abadi dari kalangan guru maupun PNS, serta masyarakat umum. Makanya, order membanjir ketika tahun ajaran baru maupun tahun anggaran baru.Namun tidak semulus yang dibayangkan dalam menjalankan usaha. Hinaan, caci maki, ketidakpuasan pengguna jasa menjadi warna melakoni pekerjaan. Namun bagi Abadi, semua itu adalah ujian untuk memperbaiki karya. Karena Abadi punya prinsip, pengguna jasa adalah raja, dan raja harus dilayani dengan sebaik mungkin.Sekelumit kisah kehidupan Abadi itu membuktikan bahwa hidup ini kerja keras. Pepatah pun mengatakan, nasib seseorang tidak akan berubah kecuali dia sendiri yang mengubahnya.*** - See more at: http://www.metro7.co.id/2012/10/peternak-itik-yang-gagal-menjadi.html#sthash.XkZd6VEP.dpuf

NURHAYATI SI PENJAHIT BAJU

Modal Rp200 Ribu Berbuah Rp200 Juta/Bulan

Erwina Kusmarini tak pernah berpikir menjadi pengusaha. Salah satunya karena harus merawat ibu mertua. Namun, justru itulah yang menjadikannya pengusaha busana muslim sukses.

Pengabdian. Mungkin itulah yang membuat Tuhan membukakan jalan rezeki yang begitu mudah bagi Erwina Kusmarini atau akrab disapa Wiwin. Betapa tidak, saat memutuskan pindah ke Klaten untuk merawat ibu mertuanya yang sepuh dan sakit-sakitan, dia harus rela menanggalkan statusnya sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Pergumulan Wiwin dan suaminya Wahyudi Nasution, yang akrab disapa Yudi, dengan dunia konveksi diawali pada Mei 2004. Waktu itu, pasangan Wiwin dan Yudi memutuskan menetap di Klaten dengan alasan merawat orang tua Yudi yang telah sepuh dan sakit-sakitan.

Ibunda Yudi bernama Asiyah Sahrowardi akhirnya meninggal dunia 1 Februari 2009 pada usia 85 tahun setelah sakit keras selama satu bulan.

Di kota ini, dengan modal sebuah mesin jahit dan uang Rp200 ribu, Wiwin mulai membuka usaha jahit di rumah mertuanya yang terletak di Dusun Kwaon, Desa Jemawan, Kecamatan Jatinom, Klaten, sekira 6 km dari Kota Klaten ke arah Boyolali, Jawa Tengah.

Sebagai usaha baru, apalagi belum dikenal, perjuangan meyakinkan pelanggan agar mau menjahitkan baju di usaha konveksinya diakui Erwina cukup berat.

Terlebih waktu itu dia juga memiliki anak yang masih kecil. Alhasil, urusan jahit-menjahit baru bisa dilakukan setelah semua tugas rumah tangga tuntas. Wiwin baru mulai menjahit sekira pukul 23.00 WIB hingga hari berikutnya.

Setelah magrib, dia baru tidur bersama anaknya, kemudian pukul 23.00 WIB dia bangun dan mulai menjahit lagi. Menjelang Ramadan 2004, dia mendapat pesanan jilbab dari seorang teman. ‘’Waktu itu saya hanya diberi contoh gambar-gambar jilbab Ratih Sang yang katanya sedang tren di Yogya," kenang Wiwin.

Wanita yang juga akrab disapa Bunda ini memperhatikan gambar itu dengan saksama, mempelajari kemungkinan potongan dan jahitannya. Lalu, dia mencoba mewujudkan gambar-gambar itu.

Ada 10 jilbab yang dipesan waktu itu. Erwina harus putar otak mencari modal untuk membeli kain. Akhirnya, dia meminjam uang sebesar Rp200 ribu pada Budenya. Setelah jilbab jadi, Wiwin mendapatkan uang sebesar Rp250 ribu.

"Saya langsung mengembalikan uang Bude dan yang Rp50 ribu saya belikan kain untuk membuat jilbab lagi,” ungkap alumnus Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada ini.

Setelah itu, pesanan mengalir. Pasangan ini pun terpaksa harus bekerja hingga larut malam menjelang pagi. Kerja keras itu mereka lakoni hingga lima bulan. “Baru setelah itu kami mampu merekrut seorang karyawan dan kami juga dapat pinjaman mesin obras,” papar Wiwin.

Kini, setelah enam tahun dirintis, usaha konveksi dengan nama merek dagang Bunda Collection itu telah mampu memproduksi 3.200-4.000 jilbab dengan omzet Rp200 juta per bulan dan jumlah pekerja harian 80 orang, belum termasuk 100 pekerja borongan lainnya.

Produk Bunda Collection dapat dijumpai pada beberapa butik di Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Solo, Semarang, Boyolali, Bukittinggi, dan lain-lain. Melalui agen di Bandung, produk jilbab Bunda Collection bahkan telah menemukan pasar di Australia, Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

”Jika ada merek jilbab Bunda Collection Anda temui di toko-toko atau pasar-pasar itu adalah brand usaha kami,” terang Wiwin tentang sukses usahanya.

Salah satu keunggulan Bunda Collection hingga diterima pasar dan mampu bersaing dengan merek lain yang sudah ada di pasar-pasar terletak pada orisinalitas desain, pilihan bahan, dan komposisi warnanya yang padu. Kekuatan lainnya juga terletak pada keunikan aksen-aksennya (sulam benang, sulam pita, payet, bunga-bunga aplikasi, dan lain sebagainya).

Hasil sentuhan tangan terampil (hand-made) dari 80 tenaga kerja membuat produk Bunda Collection tampak unik sehingga para pemakainya dapat tampil lebih anggun, cantik, dan “beda”.

“Desain, pemilihan warna, dan pembelian bahan ditangani saya,” tutur Wiwin. Selain jilbab, Bunda Collection juga memproduksi mukena, bandana, dan berbagai aksesori busana muslim.

Setiap mukena produksi Bunda Collection dipasarkan dengan harga Rp55 ribu-Rp140 ribu per satuan. Adapun untuk jilbab harganya berkisar antara Rp35 ribu-Rp95 ribu per potong. Sekira 20 persen merupakan margin keuntungan.

Kendati begitu, Yudi mengaku bahwa sebagian besar keuntungan tersebut masih dipakai untuk mengangsur kredit yang sempat dipergunakan sebagai modal usaha. “Kami dapat pinjaman Rp225 juta dari BNI Syariah selama tiga tahun,” katanya.

Dengan semakin memasyarakatnya pakaian muslim, Wiwin dan Yudi berkeinginan terus memajukan usahanya. Jika awalnya Wiwin hanya memfokuskan pada pembuatan jilbab dan bandana, pada 2008 dia mulai memproduksi mukena dewasa dan anak-anak.

2010 ini dia mulai memproduksi busana muslimah berciri khas modifikasi lurik Klaten dan daur ulang sampah plastik. ”Tapi ikon kami tetap jilbab cantik,” katanya.

Selain itu, mereka juga berencana membuat workshop dan membeli mesin. Tujuannya, selain untuk membesarkan usaha, langkah ini juga sebagai langkah awal dari impiannya untuk menjadikan Jatinom, Klaten, sebagai sentra busana muslim.

“Saya memimpikan desa kami jadi sentra produksi busana muslim. Dengan begitu, kami bisa membantu mengatasi persoalan pengangguran di Klaten,” Yudi mengungkapkan cita-citanya.

Untuk bisa mewujudkan rencananya itu,Yudi memperkirakan dibutuhkan modal hingga lebih dari Rp1 miliar. Namun, lagi-lagi modal menjadi persoalan. “Kami tak punya aset untuk diagunkan. Aset kami paling berharga hanyalah SDM (sumber daya manusia),” kata Yudi.

Di tengah kisah sukses yang diraihnya saat ini, Wiwin mengaku kerap tak kuasa menitikkan air mata ketika melihat ke belakang. Waktu mereka pindah, suaminya yang seorang seniman juga baru saja melepas pekerjaannya. Banyak juga yang menyangsikan keputusannya.” Tapi,Tuhan memang punya skenario sendiri,” tuturnya

suksesnya seorang penjahit

Dari Penjahit Menjadi Miliarder


Lebih dari 2.600 butik pakaian telah didirikan Zhou Chengjian di seluruh penjuru China. Kini, bisnisnya bahkan telah memasuki Taiwan dan Hong Kong. Hebatnya, Chengjian memulai usahanya dari nol sebagai seorang penjahit biasa.

Lebih dari 2.200 merek pakaian dan 3.000 desain baru setiap tahunnya dijual di tokonya. Ekspansi yang terus digencarkan Chengjian pun semakin menambah pundi-pundi kekayaannya. Forbes mencatat, nilai kekayaan Chengjian mencapai USD2,6 miliar pada tahun ini dan menduduki peringkat 246 orang terkaya di dunia.

Tak aneh jika mantan penjahit ini didaulat sebagai miliarder pendatang baru yang sukses dengan bisnis pakaiannya, Metersbonwe. Chengjian selalu mengatakan bahwa lakukan bisnis besar dan galilah otak untuk meraih keuntungan. Dia mengutarakan bahwa pemerintah telah menawarkan berbagai sumber daya dan memberikan kesempatan bagi pengusaha untuk mengeksplorasinya.

"Terpenting, memulai bisnis bukan urusan sepele, tetapi kita harus mencari pasar yang lebih sulit dibandingkan menemui wali kota," paparnya.

Pada 1982, ketika Chengjian berusia 17 tahun, ia mendirikan butik pakaian di kota kelahirannya, Zhejiang. Namun, tanpa dukungan modal yang kuat, akhirnya toko tersebut gulung tikar.

Sedikit putus asa, pada 1986, dia pun bekerja pada sebuah perusahaan menjadi seorang penjahit. Namun, kerja keras adalah prinsip yang selalu dipegangnya. Sebagai penjahit, dia bekerja selama 16 jam per hari, bahkan kadang-kadang lebih. Walaupun sebagai karyawan, dia tetap mengutamakan inovasi dan kreativitas dalam bekerja. Ketika itu, dia lebih rajin menjahit pakaian jas resmi.

Dia pun berani mengubah jas yang identik dengan panjang dan lebar menjadi lebih ketat. Atas inovasi itu, Chengjian pun meraih kesuksesan dan mendapatkan pujian dari sang bos. Terinspirasi dari prestasinya sendiri, Chengjian pun berpikir untuk memulai bisnis baru. Dia ingin melepaskan diri dari bos lamanya.

Dia menjahit pakaiannya sendiri dan menjualnya ke pasar-pasar. Bahkan, dia pun menjual pakaian tersebut ke hotel-hotel tempat menginap wisatawan. Dengan kerja keras tersebut, hingga pada akhir 1993, mimpi Chengjian untuk memiliki bisnis dengan modal yang kuat terealisasi.

Pada 1994, Chengjian menginvestasikan 4 juta yuan untuk mendirikan Metersbonwe, sebuah perusahaan garmen. Ketika itu dia menerapkan strategi pasar dengan tidak menjual jas resmi. Namun, dia memilih menjual pakaian olahraga karena belum memiliki banyak pesaing.

Chengjian pun lebih fokus pada produk pakaian kasual dibandingkan formal. Dia mengatakan, harga pakaian tersebut memang cenderung lebih murah. Namun, secara kuantitas jumlah penjualannya terus mengalami peningkatan sehingga keuntunganpun semakin banyak. Kenapa berbisnis pakaian? Chengjian menganggap bahwa pakaian selalu dibutuhkan orang dan hampir tak ada rumah yang tidak memiliki pakaian.

Semua rumah pasti dihuni orang yang menggunakan pakaian. Jumlah produk pakaian juga bisa dihitung dengan jumlah penduduk suatu negara dan dikalikan dengan dua atau tiga.

"Populasi manusia pastinya makin bertambah, maka jumlah pakaiannya juga akan bertambah," paparnya. "Berikan saya 10.000 kesempatan untuk berbisnis, saya tetap akan memilih bisnis pakaian," cetusnya.

Prestasi yang telah diraih Chengjian pun diapresiasi oleh Pemerintah China. Pada 2003, dia meraih penghargaan Tokoh Ekonomi China. Maklum, dia merupakan pengusaha China pertama yang menerapkan prinsip virtual operation dan model jaringan butik dalam industri pakaian.

Pada 2001, Chengjian menerapkan manajemen kualitas untuk mengenalkan kualitas produk pakaian, desain, pengembangan pasar, dan informasi pelayanan penjualan. Tak bisa disangkal, Metersbonwe pun menjadi salah satu peritel pakaian kasual terbesar di China.

Hingga pada 2004, Metersbonwe pun diakui sebagai merek paling favorit bagi generasi muda di China. Pada 2005, Metersbonwe kembali meraih penghargaan merek terbaik. Chengjian berhasil memoles Metersbonwe menjadi sebuah merek yang benar-benar menjadi kiblat konsumsi pakaian oleh rakyat China. Bagi dia, loyalitas pelanggan dan memelihara reputasi merupakan kunci sukses dalam bisnis pakaian.

"Selanjutnya, tinggal melakukan pengembangan komunitas pelanggan dan komunitas bisnis," paparnya.

Tidak ketinggalan, Chengjian pun selalu merekrut sumber daya manusia kelas satu untuk mendesain pakaian dan bekerja sama dalam tim.

Bahkan, Chengjian selalu memotivasi anak buahnya untuk bekerja sama dengan para perancang di Prancis, Italia, dan Hong Kong. Tak mengherankan jika setiap tahun Metersbonwe mampu menghasilkan lebih dari 3.000 desain pakaian baru. Setiap tahunnya, Chengjian memproduksi lebih dari 30 juta pakaian yang disebar ke seluruh China.

Menghadapi pasar global, dia pun mengaku siap untuk melakukan ekspansi ke berbagai negara. Tentunya, dia siap bersaing dengan merek-merek pakaian ternama yang telah mendunia lainnya. Hanya dalam beberapa tahun setelah dirikan, aset Metersbonwe dari 1 juta yuan meningkat menjadi puluhan juta yuan.

Nama Chengjian pun selalu disebut sebagai fenomena baru dalam industri pakaian di China. "Produksi akan menentukan sebuah mereka dan meminjam jaring ikan untuk meraih pasar. Itulah strategi bisnis yang dikembangkannya," paparnya seperti dikutip dari wayenet.

Dalam bisnis, Chengjian selalu menganggap bahwa bisnis selalu penuh dengan risiko. Namun, tegas dia, jika seorang pengusaha mampu mengelola risiko menjadi sebuah peluang, keuntungan besar akan selalu diraih. Dia selalu mengutip analogi bahwa seorang pengusaha harus seperti kura-kura yang selalu berjalan lurus dan jangan meniru kelinci yang sering salah mengambil jalan. Setiap pagi hari, Chengjian selalu berolahraga dengan lari pagi.

Dia menganggap bahwa lari pagi merupakan aktivitas yang paling menyenangkan selain bekerja. Dia menganggap bahwa dia selalu menemukan hal baru ketika dia berlari dan bertemu dengan banyak orang.

"Tapi ingat, jangan selalu mengambil rute yang sama," paparnya.

Bisa jadi Chengjian pun disebut banyak media di China sebagai orang yang luar biasa dan tidak umum dibandingkan orang di usianya. Kenapa? Tak bisa dimungkiri bahwa dia adalah orang yang sangat hiperaktif. Kini, selain bisnis pakaian, Chengjian pun membuka bisnis penginapan. Dia berniat membangun 1.000 penginapan di seluruh China.

Sisi lain Chengjian adalah dia tidak malu mengakui asal usulnya sebagai anak seorang petani. Chengjian mengakui melalui masa kecilnya dengan bahagia di perdesaan. Semasa belajar di sekolah dasar, dia sering menjadi korban kekerasan dan perkelahian.

Namun, dia mengaku selalu membalas ketika ada temannya yang memukul dan selalu melawan jika ada orang yang menantangnya. "Walaupun demikian, identitas saya adalah orang desa. Biarlah orang yang menilai. Saya sering disebut anak kerdil. Dengan perjuangan hidup yang keras, saya memiliki jati diri," papar Chengjian.

Dia mengaku, sedari kecil telah beranggapan bahwa tidak akan maju ketika tinggal di desa. Karena itu, dia memilih merantau ke kota. "Ketika itu, saya ingin membuktikan kepada orang lain bahwa saya mampu memberikan kebanggaan pada mereka," ungkapnya kepada chinaretail.org.

Selanjutnya, Chengjian juga menganggap bahwa pekerjaan yang dilakukannya selalu menyenangkan. Dia berpikir bahwa dirinya tidak akan menemui kesulitan jika melakukan pekerjaan dengan rasa senang. "Walaupun hasil pekerjaan tidak menyenangkan, kita harus bersikap tenang dan senang," paparnya.

Kisah Saya dan Hikayat Sebuah Mesin Jahit Tua

Kisah Saya dan Hikayat Sebuah Mesin Jahit Tua



MALAM ini, entah kenapa, kepala saya dipenuhi gambar-gambar mesin jahit. Bukan mesin jahit yang sudah modern dan canggih seperti yang dipakai orang sekarang, tapi mesin jahit tua, dengan sabuk dan pedal, dengan bau minyak dan aroma kainnya. Tiba-tiba saya merasa harus menyampaikan sebuah kisah pada Anda.

Saya—sedikit atau banyak—hidup bersama mesin jahit. Waktu balita, saya dan kakak lelaki saya sering dibawa ke kedai oleh ayah saya yang seorang tukang jahit. Bukan perjalanan wisata tentunya, karena hampir tiap hari kami dibawa ke kedai. Bukan perjalanan wisata namanya kalau dilakukan setiap hari, bukan? Itu semacam pembagian tugas antara Ibu dan Ayah, karena saat itu kami belum punya pembantu yang bisa menjaga kami di rumah.

Tiap hari (kecuali hari Minggu), begitu lelah bermain benang atau perca kain, saya atau kakak saya, tidur siang di kolong meja gunting. Meja gunting adalah sebutan Ayah untuk sebuah meja setinggi perut dengan panjang dua setengan meteran dan lebar satu meteran yang digunakan Ayah untuk memotong kain. Di bawah meja itu tidak ada apa-apa selain sebuah ruang kosong yang muat untuk kami yang masih kecil-kecil tidur berdua.

Sedikit lebih besar, ketika kaki-kaki saya dan kakak saya mulai bisa menjangkau pedal mesin jahit, Ayah mulai mengajari kami menjahit. Sebuah aktivitas, yang kalau saya pikir-pikir, teramat mengasyikkan untuk anak kecil seusia kami. Memasukkan benang ke lubang jahit, memutar pedal tangan, mengayuh pedal kaki, alangkah menyenangkannya. Begitu pedal dikayuh, jarum jahit menghunjam lubang jahit turun-naik, menarik dan mengaitkan benang, menyambung-mengikat-menjerat dua sisi kain yang akhirnya bisa disatukan.

Setelah matang berlatih menjahit kain perca, Ayah menyuruh kami menunaikan tugas sungguhan pertama: menjahit bendera. Menjahit bendera adalah bagian paling ringan dan paling kecil risikonya. Anda tinggal menyambung dua helai kain dua warna, merah dan putih, melipat keempat sisinya, memberi tiga atau lima kain ikatan di salah satu sisinya, dan jadilah ia sebuah bendera. Di awal-awal bulan Juli seperti sekarang, beberapa minggu sebelum peringatan Hari Kemerdekaan RI, sudah banyak pelanggan yang datang mencari bendera, dan itu adalah masa-masa “bekerja” pula bagi saya dan kakak saya. Itu pulalah masa-masa kami mencari uang jajan tambahan, dengan keringat kami sendiri.

Sedikit lebih besar lagi, saat duduk di kelas dua SMP (dan kakak lelaki saya di kelas tiga SMP), Ayah mulai menurunkan ilmu menjahitnya pada kami berdua, mulai dari bagaimana memilih kain dan benang, bagaimana mengukur kemeja dan celana, bagaimana membuat pola, dan bagaimana memotongnya, dan mulai menjahitnya.

Sebenarnya, menjahit itu dibagi ke dalam dua bagian kemahiran. Pertama, kemahiran menjahit. Kedua, kemahiran mengukur, membuat pola, dan memotongnya. Di antara dua kemahiran ini, ilmu kedua memiliki strata lebih tinggi. Ketika ingin jadi seorang penjahit, Anda harus pandai terlebih dahulu menjahit. Kalau sudah mahir, Anda baru akan diajari bagaimana cara mengukur, membuat pola, dan memotongnya. Paling tidak, seperti itulah yang diajarkan Ayah saya.

Awalnya, saya dan kakak saya, melakukan pemberontakan kecil-kecilan terhadap upaya Ayah “memaksa” kami belajar menjahit. Saya dan kakak saya tidak pernah bercita-cita jadi penjahit. Kami sudah cukup melihat betapa susahnya hidup dari profesi itu dijalani ayah kami. Dan, di antara saya dan kakak saya, sayalah yang paling kuat memberontak. Saya bilang pada Ayah, saya tidak punya bakat menjahit. Saya bilang, saya ingin jadi insinyur. Saya tidak ingin keluarga saya hidup susah kelak, sebagaimana Ayah membesarkan saya.

Namun Ayah berkata, “Kalau kamu tidak mau menjadi penjahit, tidak mau menjadikan ini sebagai mata pencaharian, tak apa. Tapi paling tidak, saat kelak hidupmu tiba-tiba susah, tiba-tiba kau terjepit hidup, kau bisa menjadikan ilmu menjahit ini sebagai ban serap, sampai kesempitanmu hilang.”

Kata-kata beliau itu lekat di kepala saya sampai hari ini. Dan satu lagi yang beliau pesankan pada saya dan kakak saya: “Meski nanti sudah jadi orang kaya, milikilah sebuah mesin jahit di rumah. Pasti bahagia rasanya, bisa sesekali melihat anak lelaki kalian memakai kemeja dan celana yang dijahit ayah mereka sendiri. Percayalah pada Ayah.”

Kata-kata itu tak pernah saya ikuti. Sampai sekarang, kalau ada keperluan memotong celana yang kepanjangan kakinya, atau baju yang terlalu longgar, saya pasti lari ke tukang jahit. Mengupah mereka untuk mengerjakan sesuatu yang sudah saya kuasai sejak saya masih kecil.

Sementara kakak saya, setelah berlika-liku mencari peruntungan dengan ijazah sarjananya, akhirnya memutuskan untuk menjadi penjahit seperti Ayah, tentu saja dengan skala yang berbeda. Kakak saya itu, bahkan ketika memutuskan menjadi penjahit, sudah merendam ijazah S1-nya, yang seingat saya, membuatnya ribut dengan Ibu saya dan istrinya selama berhari-hari.

Begitulah kenangan saya tentang sebuah mesin jahit. Kini, saat menulis tulisan ini, keinginan saya untuk memiliki sebuah mesin jahit manual tua (bukan mesin jahit listrik) kembali menggebu-gebu. Saya rindu mendengar derak-derik suara pedalnya, dan suara tik-tik saat benang kawin dengan benang, dan melihat putaran rodanya yang dulu sekal
waktu kecil pernah menjepit jari-jari saya.

Sukses

Kesuksesan Berawal Dari Ketekunan Dan Kreativitas



Tetangga sebelah kanan saya adalah seorang tukang jahit. Dia bilang ayahnya, kakek dan neneknya dan para leluhurnya juga tukang jahit. Sudah berpuluh-puluh tahun menjadi tukang jahit. Kondisi kehidupannya tidak kaya, juga tidak miskin. Cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Walaupun kalau ada biaya yang cukup besar terpaksa harus cari utangan.

Anehnya, jahitan yang digarapnya adalah order tetap dari seorang juragan. Dengan upah fix cost per satu pakaian Rp 15.000 dari 15 tahun yang lalu tidak juga ada perubahan sampai sekarang. Sepertinya merupakan hal yang tabu kalau harus menawar tarif karena dari dulu sudah diberi order tetap. Mereka beranggapan order tetap itu adalah bentuk dari kemurahan dan kebaikan hati sang juragan.

Sementara tetangga sebelah kiri saya juga tukang jahit. Bedanya, dia sekolah tukang jahit di kota besar selama satu tahun. Selain menjahit, juga belajar pola dan desain. Yang dia kerjakan bukan hanya menerima orderan dari seseorang, tapi dia sendiri kadang-kadang mencari orderan. Tarif yang ditawarkan bermacam-macam, kalau hanya menjahit pakaian dengan pola yang sudah ada bisa murah. Kisaran Rp 50.000 saja. Tapi kalau mau membuat pakaian dengan jenis yang lain ada dua harga, pertama harga menjahit dan kedua harga membuat pola sesuai pesanan. Harga membuat pola bisa 3-5 kali lipat harganya.

Pekerjaan tetangga saya yang kedua ini belum lama dilakukan. Dia berprofesi sebagai tukang jahit sejak 3 tahun yang lalu. Sebelumnya dia adalah seorang marketing yang berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain. Tapi karena perusahaannya bangkrut, dia alih profesi menjadi tukang jahit. Uang pesangonnya digunakan untuk kursus menjahit dan membuat pola. Bisa dibandingkan, tetangga kedua mendapatkan penghasilan jauh lebih besar daripada tetangga yang pertama.

Apa perbedaan penjahit pertama dan penjahit yang kedua? Saya menilai penjahit pertama adalah tipe orang yang tekun, sabar dan nrimo. Sehingga pekerjaan yang sudah dilakoninya sejak berpuluh-puluh tahun terus diwariskan ke generasi berikutnya. Tapi memang tukang jahit pertama miskin kreativitas. Sementara tukang jahit yang kedua adalah tipe orang yang kreatif. Dia tidak mau menerima keadaan yang itu-itu saja, dia belajar berbagai macam hal. Bila mendapatkan order atau membeli barang, kalau bisa ditawar kenapa tidak. Tipe yang kedua ini dikategorikan sebagai penjahit yang kreatif sekaligus tekun. Tekun karena dia juga menjalaninya dengan serius, tidak dikerjakan asal-asalan.

Di zaman yang serba berubah seperti sekarang ini, ketekunan saja tidak cukup. Memang ketekunan adalah modal awal untuk mencapai tujuan. Tapi ketekunan tanpa kreativitas bisa benar-benar berbahaya. Mengapa berbahaya? Kalau mengambil contoh tukang jahit di atas, bila suatu saat tidak ada order menjahit maka mereka bisa-bisa tidak bisa mendapatkan uang, tidak bisa makan dan akibat-akibat lainnya, karena keterampilan mereka hanya satu. Sementara sikap orang kreatif bila terjadi perubahan situasi ekonomi apakah bentuknya sepi order atau hal lainnya, mereka akan mencari jalan keluar dan belajar hal baru. Sehingga walaupun sepi order di bisnis pertama, dia masih bisa melangsungkan pekerjaannya di bisnis yang lain.

MELATIH KREATIVITAS

Kreativitas itu tidak bisa muncul sendiri, perlu dilatih, diasah dan dilakukan secara terus menerus. Kreativitas itu pekerjaan otak kanan seperti berimajinasi, membayangkan gambaran-gambaran baru, memvisualisasikan ide-ide spektakuler. Bahkan mengabaikan istilah tidak mungkin. Semuanya bersifat mungkin, kalau orang lain bisa melakukan, dirinya juga bisa melakukan juga. Kalau dalam imajinasi masih tergambar, suatu ketika bisa terwujud. Orang-orang Jepang adalah salah satu contoh orang yang memiliki kualitas mental tekun dan kreatif. Tekun karena mau melakukan satu pekerjaan sampai selesai, kreatif karena selalu mencari inovasi baru dari waktu ke waktu. Tidak heran kalau produk otomotif seperti motor dan mobil lahir dari tangan-tangan putera negeri Jepang.

Mengapa Jepang sampai memiliki mental seperti itu? Banyak faktor yang menyebabkannya. Faktor alam cukup dominan, di sana tidak ada sawah, ladang, hutan yang hijau. Jangan harap bisa menanam singkong di Jepang. Gempa bumi pun menjadi langganan Jepang karena letak geografis negeri tersebut berada tepat di antara lempengan bumi. Tapi kondisi yang sulit tersebut memaksa mereka untuk berpikir keras untuk mencari jalan keluar. Dan betul, jalan keluar ditemukan. Pikiran kita bekerja sesuai dengan program si empunya. Bila si empunya pikiran menyuruh untuk mencari solusi atas satu persoalan, jawaban atas persoalan tersebut segera ditemukan. Sebaliknya bila pikiran dibiarkan tidur dan “nganggur” tidak akan ada hasil apapun.

Tengoklah negara Indonesia yang hijau, subur, menanam singkong langsung jadi. Kondisi alamnya benar-benar memanjakan. Nganggur pun masih bisa makan, apakah dengan tebal muka ikut orangtua terus atau meminta kepada teman. Bahkan tidak sedikit yang sudah menikah masih tinggal bersama orangtua dengan berbagai macam alasan, baik alasan ekonomi atau alasan psikologi kangen orangtua.

Terlepas dari alasan apapun dengan berbagai macam pembenarannya, kondisi di Indonesia seperti itu memunculkan sikap miskin kreativitas, tidak berani dengan risiko, comfort zone dan mencari aman. Paradigma yang muncul adalah lebih baik tetap dengan kebiasaan lama walaupun penuh dengan risiko buruk, tapi risiko itu sudah diketahui sejak lama. Orang malas resikonya tidak punya penghasilan banyak, tapi tetap malas karena risikonya sudah diketahui. Sementara untuk melompat keluar zona nyaman risikonya ada dua, gagal dan berhasil. Kalau berhasil tidak ada masalah baru, tapi kalau gagal ini yang repot. Sementara kegagalan di luar zona nyaman sama sekali belum diketahui risikonya akan seperti apa. Demikian kira-kira mengapa paradigma comfort zone senantiasa dipertahankan.

Pertanyaan yang sering dilontarkan adalah, bagaimana supaya bisa keluar dari zona nyaman? Bisa dilakukan dengan dua cara. Cara pertama adalah dengan sungguh-sungguh memaksakan diri keluar dari kebiasaan lama sambil belajar. Ini dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kesadaran bahwa hidup ini harus berubah terus kalau ingin tetap survival dan selalu bisa menjawab tantangan yang muncul. Sementara cara kedua dengan tingkat risiko yang lumayan tinggi, bisa berhasil bila disikapi secara positif dan bisa juga gagal bila disikapi negatif. Caranya adalah mengalami persoalan hidup yang berat, apakah di-PHK, rumah kebakaran, merantau keluar kota, orangtua yang menjadi tumpuan meninggal atau kena tipu orang sehingga kekayaannya ludes. Yang berpikir positif akan memulai lagi dari nol dan terus berjalan sambil terus menerus belajar. Yang menyikapi secara negatif, kejadian tersebut dianggap sebagai kiamat dunia yang membuatnya frustrasi, gila bahkan bunuh diri.

Banyak contoh kasus orang-orang yang berhasil melampaui persoalannya. Hellen Keller misalnya, adalah contoh sukses dari orang yang buta dan tuli. Tapi mengapa dia berhasil menempuh pendidikan sampai tingkat Doktor dan menjadi orang yang memiliki kepedulian tinggi pada orang buta dan tuli. Thomas Alfa Edison yang tuli bisa menjadi tokoh besar dalam sains dan contoh-contoh konkret lainnya.

Tidak ada kaitan antara cacat fisik dengan kesuksesan. Kalau mereka yang cacat bisa sukses, mengapa kita yang memiliki struktur fisik yang normal sangat cengeng dan mudah menyerah. Di sinilah perbedaan mental baja dan mental kerupuk. Dan itu perlu latihan terus menerus untuk memiliki mental baja patang menyerah, apapun tantangan yang muncul bisa dihadapi dengan senyuman.

Tolong “share” ke teman-teman yang lain agar mereka juga dapat memetik hikmah yang ada pada kisah di atas. Semoga dapat bermanfaat bagi kehidupan kita, terimakasih.